ntuk desain, sebetulnya yang sering jadi masalah adalah harapan designer, supaya desainnya bisa dicetak semirip mungkin dengan yang dibayangkan.
Nah, kondisi mesin itu kan berbeda-beda, jangankan sampai ke mesin offset (web/sheet feed), mau ke imagesetter atau plate setter saja pasti ada degradasinya kalo kita nggak mengenal karakteristik mesinnya.
Software apa saja engga ada masalah. Misal yang paling rumit saat ini adalah mengatasi transparansi /flatten image
di jenis vector, kalo file bitmap biasanya lebih aman…
Nah, kalau seandainya yang mengerjakan bagian prepressnya, kita sendiri, kita bakal kenal tuch kemampuan RIP kita, tapi, kalo dilempar keluar, tunggu dulu, belum tentu.
Image harus “disetel” sesuai dengan kemampuan mesin webnya, baik dari segi speed dan kemampuan cetaknya.
Waktu kita mendesain, kita udah setel seperti yang diharapkan pada mesin web, tapi kita lupa image setter kita juga punya andil atas tampilan. Hasilnya, jadi tetap enggak sesuai harapan.
Memang untuk cetak digital, karena variannya lebih sedikit jadi lebih sederhana... dari workstation desainer bisa langsung atau lewat PDF langsung ke RIP, server-nya printer.
Sedangkan, kalo kita pake offset, variannya lebih beragam dan yang menentukan kemampuan mesinnya juga ditunjang oleh beberapa item… itu yang sedikit banyak harus diketahui oleh desainernya agar tidak sering dikecewakan oleh hasil. Kalo masalah rekomendasi software.. mungkin umumnya adobe family… freehand juga sudah dibeli oleh adobe.
Dan di Adobe ini juga sudah cukup di dukung dengan sistem Color profiling yang cukup oke untuk kebutuhan cetak.
supaya bisa WYIWYG... what you see is what you get.
Apapun mesinnya atau metode cetaknya, kalo mau desain lebih save dicetak, varian yang akan dilewati harus kita ketahui detilnya.
Misal kalo mau di-outsourcing atau dikasih ke biro cetak, biasanya yang jadi patokan adalah hasil proofing yang dia kasih, dengan asumsi mesin proof nya sudah disesuaikan profile dengan kemampuan mesin cetak yang mau dipakai.
Kenapa begitu?... mesin cetak itu khan mesin yang paling mahal dan gede, jadi pembaruannya makan waktu yang paling lama, profile yang kita pakai itulah yang jadi acuan kita dalam membaca keterbatasan kemampuan mesin cetak.
Kalau keterbatasan mesin yang bakal kita gunakan itu bisa dibaca di bagian depan, desainer jadi lebih ‘pede’ bikin desain nya.
Jadi, jangan menyalahkan mesin cetaknya, kalo hasil cetak tidak sesuai…
Hal ini akan jauh lebih enak, kalo kita bikin film sendiri dan nyetak sendiri… karena kita bakal mengerti betul kondisi mesin-mesin yang akan dilalui oleh job tadi.
Standar Disain.
Tentu dengan tools dan parameternya, seperti
- standard warna (referensi color guide, pantone, tc, dll)
- standard komposisi warna (gamut color)
- pemahaman hue error (penyimpangan warna)
- standard delta error (Color management)
- tata cara melihat warna (lamp, tld 65, dll)
-ditambah lagi RIP nya pake versi berapa?
Kenapa begitu?
Kalo RIP-nya enggak langsung menempel dengan komputer desainer, biasanya desainer akan men-save job nya setingkat dengan versi software-nya.
Sebagai contoh = Pake Indesign CS4, tapi RIP nya masih jadul yang versinya pakai Postcript bukan PDF, model seperti begini, hasilnya nggak bisa diprediksi banget
karena kemampuan interpretasi RIPnya khan jadul, sedangkan software desainnya sudah jauh lebih tinggi ilmunya....
Di komputer designer, tampilan desain keren abis… begitu di RIP, gambar dan teksnya ada yang bopeng, ada yang misah, ada yg numpuk.. hal-hal yang seperti ini yang mesti diperhatikan.
Kalibrasi dan pembuatan profile segala equipment yang kita pakai selama proses cetak, sebaiknya dilakukan.
Tapi banyak pelaku yang mau melakukan hal ini mikirnya panjang banget. Bagi yang mengerti penuh fungsinya, mereka akan sadar betul, tapi yang ngertinya separuh, pasti ngeri banget ngelihat 'waste' yang akan terbuang.
Kalibrasi itu sebetulnya berfungsi untuk sebisa mungkin mengembalikan kemampuan masing-masing mesin menjadi seoptimal mungkin. Untuk mesin CTP dan CTF biasanya dengan berjalannya waktu, laser mengalami penurunan kemampuan, sehingga engga linier lagi. Nah, CTF atau CTP ini kalo mau kita buat acuan, harus dalam kondisi linier. Apa sich linier itu?… Linier itu kondisi raster 2%, keluarnya, ya 2% di film atau plate, 3% ya 3% & dan seterusnya. Setelah itu beres, baru dech kita coba melihat kondisi mesin cetak. Kita buat acuan. Kita lihat bagaimana mesin menginterpretasikan image tersebut. Ada dot gain.. kita lihat tintanya, rata atau engga… hal-hal itu kita benahi… selanjutnya setelah oke.. baru kita melangkah ke bagian profiling yang memungkinkan workstation designer bisa tahu kondisi bagian produksinya.Menutrut pengalaman sih...
Bukan CTF dan CTP saja lho yang melewatkan proses kalibrasi... segala monitor, scanner (kalau masih pakai), proofer (juga kalo ada) seharusnya juga melalui proses kalibrasi. Misal di monitor, semakin hari cahayanya monitor kita akan semakin bergeser warna cahayanya... dari yang tadinya oke, jadi kelihatan lebih hijau atau merah... karena nilai phosphor RGB pemberi warna cahayanya mulai berkurang di dalam situ. Nah, dalam kondisi ini si pemakai juga harus tahu… ada alatnya untuk mengetahui nilai Kelvin si cahaya monitor.
plate/film linier kunci utama untuk kalibrasi mesin, artinya bisa dijadikan acuan untuk mencari seberapa besar mechanical dot gain mesin cetak kita. Jika sudah ketemu profile mesin (dot gain, density), maka data mesin tersebut bisa kita jadikan acuan untuk kalibrasi proofer. Sehingga, apa yang dikeluarkan proofer nantinya bisa di akomodir / dicapai oleh mesin cetak kita, penyimpangan warna akan sangat kecil terjadi. Pemasangan iklan atau customer akan tahu lebih dulu hasilnya, seperti apa sebelum dicetak. Phosphor RGB pemberi warna cahayanya mulai berkurang di dalam situ.
Berarti jelas ada hal yang harus dijembatani antara kemampuan cetak dan kemampuan imaging plate dari prepress.
menarik untuk membahas WASTE yang mungkin terjadi selama prosesnya...ya dlm proses kalibrasi??
Untuk Waste...
Yang paling awal adalah plate auto film dari CTP atau CTF. Pada saat kita ngecek linier mesin, tergantung kondisi mesin... kita pasti ngecek allignment laser, kadang disini bisa beberapa plate/film yang kita output sampe allignment yang sempurna bisa kita dapatkan.
Kemudian baru melangkah ke nilai raster. Kita harus mengecek beberapa kali exposure untuk check density-nya. Untuk film, kita check dulu kepekatan image-nya, untuk plate kita gunakan step FOGRA.. hal ini sangat tergantung dengan jenis plate-nya juga.. untuk photopolymer misalnya kita biasa pake 2 gelap 3 bayang, dll… masing-masing pelat dari vendor juga beda settingan exposure-nya.
Setelah exposure beres… baru dech kita lihat persentase raster. 2% nya keluar berapa sampai 99% & banyak alat ukur yang bisa presisi mengukur nilai raster mulai dari 2% sampai dengan 98% saja. Tapi, itu juga sudah cukup.
Dari mesin prepress itu bisa dibayangkan khan seberapa banyak yang harus kita output. Apalagi men-standar-kan mesinnya jarang-jarang. Kalo kepepet aja baru dilakukan.
Banyak customer yang sadar banget akan nilai raster, melakukannya setidaknya 2x sehari, pada awal kerja (shift1 dan shift kedua)...
Setelah prepress selesai, baru kita buat acuan image yang akan kita cetak. Biasanya itu terdiri dari sekian banyak colour patches untuk membuat profile mesin cetak dan mesin proofer sekalian.
Nah, pada saat kita check tadi di mesin prepress tentang nilai raster, dll.. itu belum berhubungan dengan workstation, melainkan murni dari mesin.
Sekarang, karena kita mengirim acuan image.. kita lihat lagi di CTF atau CTP hasilnya… setelah diukur benar-benar linier, baru dech kita teruskan ke mesin cetak. image yang akan kita cetak. Biasanya itu terdiri sekian banyak colour patches untuk membuat profile mesin cetak dan mesin proofer sekalian... mungkin satu waktu nanti coba aku posting contoh acuan image untuk proses kalibrasi dan profiling yah... (tapi dimana bisa diposting yach?)...
Setelah sampai ke mesin cetak... baru kita mulai melibatkan waste yang lain lagi... kertas, tinta, dll... Seringkali yang punya mesin, nyetak asal ketebalan tintanya udah sama di bagian-bagian image yang sudah ditandai, nilainya sama... langsung berhenti... padahal... kestabilan tinta itu kan beda-beda di setiap mesin dan tergantung run length-nya juga, kadang kita bisa melihat bagian-bagian lain pada hasil cetak itu masih kurang tinta dll… tapi mesin sudah berhenti. Karena bisa dibayangkan, kertasnya sudah kebuang berapa banyak… dan lagi, mereka pasti nggak bisa mengerjakan job yang lain…
Ini di mesin cetak..
Kemudian setelah mesin cetak beres… kita peroleh hasil…
Kita melangkah ke mesin proof.
Segala proses yang kita lalui tadi... kita nggak akan pernah bisa menemui gamut yang sama... walaupun sama-sama CMYK.
Nah, kalibrasi untuk mesin proof ini agak banyak lagi kertas proof yang kita output.
Pertama... kita harus menentukan UCR dan GCR yang pas untuk mesin proof kita supaya kalo proofing cetakan hitam putih warnanya tidak bluish atau redish melainkan bisa pure black dan gradasinya.
Setelah itu baru dech, kita melangkah ke warnanya. Mesin proof ini khan dipersiapkan untuk merepresentasikan gamut warna yang lebih luas dari semua mesin yang kita gunakan dari work station sampai mesin cetak.. nah, kita harus menurunkan gamutnya supaya dia bisa merepresentasikan warna yang mampu dicetak oleh mesin cetak.
Terutama untuk image dengan warna-warna proses..
Belum lagi di mesin proof kita akan seringkali menemukan hasil dengan image bending,.. nah, kalo udah ada garis-garis bending… khan hasilnya juga tidak sempurna… hal-hal seperti inilah yang membuat wastenya jadi bikin ngeri.Mesin proof ini khan dipersiapkan untuk merepresentasikan gamut warna yang lebih luas dari semua mesin yang kita gunakan dari workstation sampe mesin cetak... nah, kita harus menurunkan gamutnya supaya dia bisa merepresentasikan warna yang mampu dicetak oleh mesin cetak...
walaupun waste-nya banyak pada saat proses kalibrasi dan profiling (biasanya sekaligus dilakukan)... lebih dilakukan sekalian, jangan dicicil. Karena waste nya bakalan lebih banyak lagi.Atau kalau setengah-setengah, hasilnya tidak akan bagus... misal seperti yang tadi sempat disampaikan, karena takut menghabiskan kertas banyak, begitu tebal tinta di tempat yang ditandai sudah oke, langsung berhenti, padahal atas-atasnya masih ada yang belang, terus dipaksakan diukur, nah, bisa dibayangkan hasilnya. Bukan hasil yang diharapkan di kemudian hari, hasil tersebut enggak bisa jadi patokan… akhirnya waste yang tadi udah banyak makin jadi bener2 wasteless
0 comments:
Post a Comment